Jumat, 23 September 2011

Analisis Cerpen "Langit Makin Mendung" Karya Kipandjikusmin



Penghinaan Abstraksi dan Kemulian Tuhan serta Nabinya
Oleh: Hartana Adhi Permana 
 
 
 
Tulisan ini saya angkat sebagai topik tanpa memiliki tendensi apa-apa. Apalagi, bermaksud mengungkit-ungkit “luka lama” tentang polemik antara kubu yang pro dan kontra terhadap keberadaan “Langit Makin Mendung”. Juga sejarah sastra Indonesia juga telah mencatatnya dalam “dokumen hitam” sebagai wujud “konflik” yang (nyaris) tak pernah berujung antara kebenaran “imajinasi” dalam teks sastra dan kebenaran objektif dalam realitas kehidupan. Saya juga tak bermaksud mengaitkannya dengan “heboh nabi baru” dalam isu mutakhir Indonesia saat ini yang juga disinggung-singgung dalam “Langit Makin Mendung”. Anggap saja tulisan ini sebagai nostalgia “tragik” yang menimpa seorang penulis berbakat Kipandjikusmin yang akhirnya harus terdepak dari “singgasana” sastra Indonesia akibat “menghamba” pada liarnya imajinasi dan ke-”kenes”-annya dalam mengangkat persoalan-persoalan religi yang peka dan rentan konflik.

Cerpen Langit Makin Mendung bertutur tentang Nabi Muhammad yang turun kembali ke bumi. Muhammad diizinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa akhir-akhir ini umatnya lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan. Dengan menunggangi buroq dan didampingi Jibril, meluncurlah Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Rusia yang sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan. Sedangkan, Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak disangka, awan empuk itu berada di langit-langit. Untuk menghindari kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril menyamar sebagai elang. Dalam penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia dengan bertengger di puncak Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di daerah Senen.

Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala macam perilaku lacur, nista, maksiat, dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen ini, Kipandjikusmin menyindir elite politik dengan cara culas. Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.

Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini. Begini bunyinya: “Rakyat rata-rata memang pemaaf serta baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi.”Sebuah cerpen yang sungguh-sungguh “liar” imajinasi. Dalam penafsiran awam saya, “Langit Makin Mendung” bisa dibilang sebagai sebuah cerpen multiwajah. Ada banyak dimensi yang ingin dihadirkan di sana. Politik, ekonomi, agama, sosial, budaya, bahkan juga militer, tampak benar bagaikan mozaik yang saling bertempelan; membangun sebuah desain cerpen yang liar, menegangkan, sekaligus menghanyutkan. Lewat gaya bertuturnya yang kenes, satire, dan sarat kritik, “Langit Makin Mendung” mampu membombardir imajinasi pembaca dan hanyut dalam emosi purba; “gemas”, bahkan mungkin juga geram.

Paragraf pembukanya saja sudah cukup mampu membangkitkan “aura fanatisme” keagamaan bagi pembaca yang terbiasa membaca teks-teks sastra konvensional. Simak saja beberapa penuturannya berikut ini!

Lama-lama mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibuat, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaranMu; beratus tahun tanpa henti. ”Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw…

(Tuhan dipersonifikasikan dengan gaya bertuturnya yang kenes: “menggeleng-gelengkan kepala …”)

Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang. Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.
(Kritik terhadap rezim Orde Lama yang suka bernafsi-nafsi dan memanjakan nafsu hedonis, tak peduli terhadap nasib rakyat yang dijerat kemiskinan dan kelaparan).

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.

(Satire bagi kalangan wong cilik yang suka mengumbar nafsu birahi, tanpa memikirkan risiko penyakit kelamin).

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak memimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah ke mana.

(Suasana main hakim sendiri sebagai potret ketidakpercayaan rakyat terhadap supremasi hukum).

Masih banyak ungkapan dan idiom menarik dalam “Langit Makin Mendung” yang terkesan vulgar, tetapi juga subtil; mampu membawa imajinasi pembaca pada suasana “tragis” yang berlangsung ketika negeri ini dipimpin oleh Panglima Besar Revolusi (PBR) Soekarno. Perilaku para elite penguasa yang dinilai korup dan culas tak luput dari bidikan Kipandjikusmin lewat gaya ucapnya yang khas; lugas dan apa adanya.

Terlepas dari kontroversi yang telah memancing emosi “fanatisme” umat Islam, “Langit Makin Mendung” secara literer bisa dibilang sebagai teks sastra yang kaya ide. Penuturan-penuturannya lugas dan tidak terjebak pada narasi yang melingkar-lingkar. Sesuatu yang abstrak bisa dikonkretkan lewat diksi yang bernas dan jernih. Sayang, “talenta” Kipandjikusmin telah terbunuh sebelum benar-benar mampu bertahta dalam singgasana sastra Indonesia. Kekayaan ide, imajinasinya yang liar dan mencengangkan, bisa jadi akan mampu menahbiskan Kipandjikusmin sebagai sastrawan “papan atas” seandainya tidak sembrono dan gegabah dalam mempersonifikasikan Tuhan, Muhammad, atau Jibril.

Analisis Cerpen "Godlob" Karya Danarto



Angkara Murka yang Dikuasai Hawa Nafsu
 Oleh: Hartana Adhi Permana



             Seperti yang kita ketahui karya-karya Danarto terkenal karena muatan mistiknya yang menonjol yang dituangkan dengan cara-cara yang inkonvensional. Untuk memahami karya sastra terutama cerpen-cerpen Danarto tidaklah semudah memahami karya sastra pengarang lain. Kita perlu mengembalikan pemikiran kita pada dunia sastra sebagai realitas imajiner yang berarti bahwa kenyataan itu hanya ada dalam angan-angan.Segala bentuk penciptaannya tidak harus tunduk pada realitas formal. Hal ini dapat terlihat jelas terutama pada struktur cerita yang dijalin Danarto sering penuh dadakan, kejadian-kejadian yang disusun di luar dugaan pembacanya. Tokoh-tokoh yang ditampilkan sering bukan tokoh yang berdarah daging sebagaimana manusia biasa.

             Danarto termasuk salah seorang pengarang Indonesia kontemporer yang berhasil dalam mengadakan pembaharuan dalam ciptaannya, di samping Budi Dharma, Putu Wijaya dan Iwan Simatupang (Teeuw, 1979:183). Beberapa tanggapan mengenai cerpen-cerpen Danarto telah banyak diutarakan. Danarto memang tidak dapat digolongkan sebagai pengarang yang produktif, mungkin hal ini disebabkan oleh minatnya dalam bidang seni lainnya juga besar seperti seni lukis, dan drama.

           Pemahaman suatu hasil sastra khususnya karya Danarto, akan lebih mudah kalau kita mengenal budaya orang Jawa yaitu sikap hidup orang Jawa khususnya dunia kebatinan atau mistik jawa. Cerpen-cerpennya memang banyak yang bernafaskan mistik. Ini tidak lain karena menurut anggapannya mistik dalam karya sastra adalah upaya untuk manunggal dengan Allah. Karya-karyanya banyak yang bertolak pada konsep ajaran panteisme yaitu manusia dan jagat raya merupakan percikan dari zat Illahi, manifestasi dari emanasi Tuhan Yang Mahakuasa.

          Meskipun kebanyakan cerpen Danarto bernafaskan mistik atau kebatinan Jawa bercampur dengan agama Islam dan diwarnai oleh pandangan panteisme, lain halnya dengan cerpen yang berjudul “Godlob” (“Godlob” merupakan cerpen pertama dalam kumpulan cerpen Danarto yang berjudul sama dengan judul cerpen itu). “Godlob” tidak membicarakan dunia mistik dan kebatinan hanya saja masih mengupas masalah kematian, walaupun dalam cerita ini bukan sebagai upaya untuk manunggal dengan Allah melainkan kematian yang datang setelah adanya pembunuhan oleh manusia. 

         Dengan demikian semakin jelaslah bahwa cerpen-cerpen Danarto memiliki corak tersendiri, terutama yang menyangkut soal mistik. Untuk memahami tentu saja kita perlu memiliki sejumlah pengetahuan yang berkaitan dengan mistik sebab tanpa itu sudah pasti kita akan mengalami kesulitan dalam menelusuri njalan pikiran Danarto yang dituangkan melalui karyanya. Dalam hal ini penulis lebih menekankan unsur mistiknya karena hamper setiap karya Danarto terdapat masalah yang berhubungan dengan kerinduan makhluk dengan Kholiknya untuk mencapai persatuan, dalam aliran kebatinan jawa lebih dikenal dengan istilah manunggaling kawula gusti. Melalui gaya penceritaan Danarto yang khas , personifikasi, figurisasi atau setidak-tidaknya renungan-renungan terhadap faham sufistiknya bahkan mungkin konkretisasi ajaran sufisme. Hal ini tidak lain karena menurut anggapan Danarto bahwa mistik dalam karya sastra adalah suatu upaya untuk mencapai kemanunggalan dengan Tuhannya. Bagi danarto cerpen merupakan suatu struktur kalimat-kalimat yang tidak bermakna dan karya sastra tidak lain berfungsi sebagai enlighment, yaitu sebagai penerang bagi manusia dalam menyatukan diri dengan Kholik.

          Cerpen “Godlob” melukiskan orang-orang yang masih dikuasai oleh hawa nafsu jasmaniah dan terikat oleh alam kodrati. Cerita ini mengisahkan seorang ayah yang membunuh anaknya yang terluka dalam pertempuran supaya anaknya dianggap dan diakui sebagai pahlawan. Memang cerpen ini tidak menyinggung-nyinggung masalah ketuhanan, mungkin karena manusia (dalam hal ini ayah), yang bersifat angkara murka masih dikuasai oleh nafsu, keinginan untuk diuji, yang dalam bahasa Arab disebut godlob.

         Danarto memulai ceritanya dengan pelukisan arena perang yang seram dengan bangkai-bangkai prajurit, alat-alat perang yang hancur, dan burung gagak yang bergerombol-gerombol mematuki bangkai. Suasana ini digambarkan dengan jelas dengan perlambangan yang konkret sehingga indera pembaca, mata, telinga, penciuman dan syaraf gerak dapat mengikutinya. Gagak-gagak itu berpesta di atas mayat atau tubuh yang hampir menjadi mayat. Gagak yang melambangkan keserakahan dan mengambil keuntungan di atas peperangan itu menyarankan kepada tokoh utama cerita ini, yakni sebagai seorang laki-laki tua dengan politikus. Orang tua itu bernafsu mendapatkan penghargaan atas kematian anaknya yang dibunuhnya sendiri. Namun, hal itu ditentang oleh bekas istrinya. Istrinya ditampilkan sebagai lambang kejujuran yang berani memusnahkan kebohongan. 

         Tokoh lain ialah beberapa orang politikus yang barangkali melambangkan orang-orang yang pandai menggunakan kesempatan. Anak orang itu melambangkan orang yang pasrah kepada nasib. Sikap pasrah itu dihubungkan dengan sikap tentara yang percaya, “semuanya kita sudah diatur”. Dalam cerita ini disisipkan perbandingan antara politikus dan penyair di dalam menghadapi kesengsaraan orang lain. Untuk mencapai efek tertentu dipakai perbandingan yang hebat-hebat pada awal cerita itu. Keisengan orang tua itu digambarkan dengan sikapnya pada waktu berbicara di hadapan anaknya yang hampir mati, ia seperti berdeklamasi, seperti orang gila. Cerita pun berakhir dengan ditembaknya sang ayah oleh istrinya sendiri.      

     Masalah kebatinan yang diungkapkan Danarto dalam kebanyakan cerpennya, tidak selalu menggambarkan proses perjalanan makhluk menuju persatuan dengan khalik. Misalnya, dalam cerpen “Godlob”. Dapat dikatakan sebagai salah satu cerpen yang dihasilkan oleh Danarto, “Godlob” jauh dari yang namanya dunia mistik dan dunia kebatinan. Cerpen ini juga tidak terlalu banyak menyinggung-nyinggung masalah ketuhanan, meskipun begitu masih disinggung juga tentang kematian.

        Di dalam cerpen tersebut, Danarto menggunakan gaya bahasa yang berfungsi untuk meyakinkan atau menjelaskan seperti perbandingan, kalimat retorik serta menggunakan bahasa berirama dalam melukiskan suasana. Selain itu digunakan juga pengulangan kata yang memperindah karya tersebut, sebagai contoh dapat kita lihat pengulangan kata yang ada pada awal cerita:

 Gagak-gagak hitam bertebahan dari angkasa sebagai gumpalan-   gumpalan batu yang dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar,       tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar dan          kecil, tidak keruan sebagai benang kusut.

          Kalau kita lihat ada banyak pengulangan dalam satu kalimat pembuka cerpen tersebut. Ada kata yang diulang karena memang perlu diulang, misalnya pada penggalan kalimat kedua berikut:

Laksana setan maut yang compang-camping mereka buas dan tidak        mempunyai ukuran hingga…

         Bentuk pengulangan kata compang-camping merupakan bentuk kata ulang berubah bunyi atau salin suara yang memang harus ada pengulangan karena compang tidak dapat berdiri sendiri tanpa camping.

       Ada pengulangan yang memang perlu, ada juga yang hanya sekedar memperindah atau dapat juga digunakan untuk memperkuat penggambaran. Selain itu ada juga bentuk pengulangan yang tidak mentaati kaidah bahasa, seperti:
           Tiap mayat berpuluh-puluh gagak yang berpesta pora bertengger-      tengger di atasnya, hingga padang gundul itu sudah merupakan      gundukan-gundukan semak hitam yang bergerak-gerak seolah-olah          kumpulan kuman-kuman dalam luka yang mengerikan.

        Meskipun pengulangan kata kuman-kuman yang telah didahului oleh kata kumpulan terkesan tidak mentaati kaidah bahasa namun menimbulkan keindahan ketika kita membacanya bahkan terasa nikmat saat membacanya.

         Pengulangan-pengulangan kata itulah yang mampu menempatkan “Godlob” sebagai salah satu karya kontemporer yang mewakili karya-karyanya yang lain seperti: kecubung pengasihan, Armageddon, Asmaradana, dan Abracadabdra. Pengulangan kata yang digunakan sebagai gaya bercerita Danarto dalam cerpen “Godlob”, mampu menciptakan penggambaran yang kuat sekaligus meyakinkan pembaca. Di samping itu, pengulangan kata yang ada di dalamnya mampu memperindah sehingga “Godlob” nikmat untuk dibaca dan tampil lain dari cerpen-cerpen yang telah ada.

         Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, Danarto sebagai salah seorang pengarang sastra kontemporer telah mempunyai tempatnya sendiri karena corak karangannya yang khas dan menarik penuh kejutan. Demikianlah gambaran suasana mistik yang terdapat pada kumpulan cerpen Godlob karya Danarto.

Analisis Cerpen "Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya” Karya Ni Komang Ariani



Penyesalan yang Tidak Ada Gunanya 
        Oleh: Hartana Adhi Permana


                Salah satu cerpen yang cukup manrik perhatian saya ini adalah begitu saya membaca judulnya saja, di sana memiliki simbol yang luas tentang cerita ini. Cerpen yang berjudul “Perempuan yang Tergila-gila pada Idenya” ini terselip makna yang cukup besar. Tentunya saya menerjemahkan simbol tersebut yaitu cerita tokoh perempuan yang diceritakan oleh tokoh “aku” ini yang tidak bukan adalah suaminya sendiri adalah seorang perempuan karir yang banyak memberikan ide-idenya kepada perusahaannya sendiri. Sehingga tokoh “aku” banyak menceritakan bahwa istrinya ini telah lupa kepada kesehatannya, karena istrinya ini gila kerja dan gila kepada ide-idenya yang diberikannya sehingga banyak sekali teman-temannya yang iri kepadanya.

            Cerpen ini dimulai dengan penyesalan tokoh “aku” yaitu sebagai suami dari tokoh perempuan ini yang sebagaimana terkutip pada kutipan berikut ini:

“Inilah saatnya aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya. Tidak cukupkah ia menjadi perempuan biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri”.

            Kutipan tersebut bisa diterjemahkan sebagai penyesalan seorang suami yang telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya sendiri. Istrinya adalah seorang yang ambisius dan tidak cukup sebagai perempuan biasa saja, beda dengan suaminya yang merasa berkecukupan sebagai orang biasa. Dan tokoh “aku” menyesal karena tidak tahu bahwa istrinya itu memilih cara yang indah untuk dirinya sendiri.

            Dalam cerpen ini juga saya cukup menarik perhatian saya yaitu tentang kemarahan tokoh “aku” yang dengan marahnya memarahi semua yang ada dibenaknya akibat sakit parah yang menimpa istrinya. Sebagaimana terkutip dalam kutipan berikut:

Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya samapai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

Dalam kutipan ini penulis menceritakan kemarahan tokoh “aku” yang marah kepada perawat istrinya karena begitu bego menerjemahkan perintah dokter dengan salah, tokoh “aku” juga marah kepada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istrinya sehingga gejala penyakit istrinya tidak diketahui lebih awal. Penulis juga menceritakan tokoh “aku” yang marah kepada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah dokter, dan juga marah pada istrinya sendiri yang dengan tanpa alasan yang jelas tidak merasakn dengan benar gejala di tubuhnya sampai semuanya sudah terlambat. Tokoh “aku” juga begitu marah kepada teman-teman istrinya, teman-temannya dan sanak saudara yang menambah perih hati tokoh “aku” dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.

            Saya juga tertarik dengan kutipan yang terdapat pada paragraf enam sebagai berikut:

“Kata orang, begitu kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggu saat-saat terakhirnya.

Mungkin maksud penulis menyertakan kutipan di atas yaitu bahwa orang lain bilang bahwa bahwa kau berani mencintai, kau akan dibuat menderita olehnya.  Penulis dengan sengaja menyampaikan suatu pesan kepada pembaca bahwa kalau kau dengan berani mencintai orang itu, kau juga akan dibuat menderita olehnya dengan cara apapun. Mungkin dengan patah hati, ditinggal oleh sang kekasih untuk selama-lamanya, dan mungkin ditinggal selingkuh oleh kekasih sendiri. Ini sangat ironi buat kita yang sering jatuh cinta, karena cinta itu buta. Cinta akan membuat kita merasakan luka terperih di hati kita dan ketakutan yang mengazab jiwa kita. Cinta membuat kita bisa merasakan berbagai rasa mulai dari senang, sedih, kesal, dan bingung dibuatnya. Cinta bisa membuat kita tentram juga bisa membuat kita sakit selamanya. Tetapi, kita jangan sampai terlena dengan sakitnya cinta, kita jangan sampai trauma dengan cinta, karena Tuhan telah menakdirkan kita untuk saling mencintai, tidak hanya cinta kepada lawan jenis dan sesama manusia saja, tetapi kita juga harus cinta pada hewan, tumbuhan dan sesama makhluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak sampai disitu saja, kita juga harus cinta sama segala hal yang ada di dunia ini.

            Terdapat kutipan yang cukup menarik perhatian saya ataupun pembaca lainnya, yaitu dengan salah satu kutipan berikut ini:

Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri.

Dalam kutipan ini tokoh “aku” ingin mengistirahatkan jiwanya sejenak dan melupakan segala hal tentang istrinya sesaat. Tokoh “aku”inging mengintip bayangan istrinya di cermin. Tokoh “aku” ingin mengetahui sudah seperti apakah rupa istrinya saat ini. Dan membandingakan dengan rupa tokoh “aku” yang mungkin tampak sudah seperti tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor, mirip dengan burung basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bunyi. Tokoh “aku” gemetar kedinginan dan sayap-sayapnya tidak sungguh lagi mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Maksud dari kutipan berikut adalah bahwa tokoh “aku” sangat menderita dengan sakit parah yang menimpa istrinya itu. Dia mengibaratkan bahwa rupa dia sekarang seperti tikus got dan burung yang basah kuyup. Dia sangat tertekan dengan sakit yang menimpa dirinya itu. Dia sangat menyesal dengan keterlambatan dia untuk mengetahui penyakit istrinya sehingga kalau dia sudah mengetahui gejala penyakit istrinya sejak dini, mungkin dia langsung memeriksa istrinya ke dokter dengan sesegera mungkin. Tapi ini sudah terlambat baginya.

            Tokoh “aku” tidak percaya ketika dia mendengar kabar terakhir istrinya dari dokter bahwa sudah memasuki babak akhir. Dokter memberikan kabar bahwa istrinya mengidap penyakir kanker paru-paru yang telah menggerogoti tubuh istrinyasudah sampai stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. 

            Tetapi dia tidak percaya pada istrinya yang dahulu sebagai pekerja keras dan tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Dia menyesal kembali karena sejak awal tidak mengetahui penyakit istrinya. Dia sangat merasa bersalah. Tetapi dia akan tetap mengenang kepergian istri tercintanya dalam rasa sakit yang jauh merajam hatinya.

            Dengan beratnya nasib yang dihadapinya, tersirat kutipan berikut ini:

Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai subuh. Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekalli seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelagak-gelagak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?

Penulis dengan sengaja menuliskan tentang setelah tokoh “aku” mengetahui bahwa umur istrinya itu sudah tidak lama lagi pergi meninggalkan tokoh “aku” dengan menceritakan keseharian tokoh “aku” yang sudah tidak kuat dan sanggup menanti kepergian istrinya itu. Di samping rasa bersalahnya yang menghantui dia sendiri, juga ketidakinginan sang istri untuk meninggalkan dirinya karena sang istri adalah seorang wanita yang tangguh dan kuat. Tetapi semuanya sudah terlambat karena dokter sudah memberi kabar buruk bagi dirinya dan istrinya.

            Dalam akhir cerita terdapat  sebuah kutipan yang menceritakan tentang kesungguhan hati tokoh “aku” dengan sadarnya bahwa sangat wajar sang istri meninggal dengan cara seperti ini. Berikut kutipannya:

Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali kedalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih.